SISTEM PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN SALAF
A. Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang religius
Islami dan merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Pada awal didirikannya, pesantren tidak semata-mata ditujukan untuk
memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak),
melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan
mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati.
Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika
lain.
Pondok pesantren memiliki karakteristik unik dari
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan karekateristik ini tidak
dimiliki oleh lembaga pendidikan lain selain pesantren. Jika ada pun,
itu hanya merupakan hasil adopsi dari lembaga pendidikan pesantren.
Keunikan
lain yang dimiliki pesantren adalah dalam sistem pembelajarannya yang
masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional (salaf),
walaupun keberadaan tipologi pesantren pada saat ini telah mengalami
perubahan, sehingga ada yang dinamakan pondok pesantren salaf dan
pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif). Akan tetapi, dengan
pergeseran nama dan tipologi pesantren tersebut, pada setiap pesantren
apapun tipologinya, sistem pendidikan tidak serta merta dihapuskan,
paling tidak ditambah, seperti pada jenis pesantren khalaf (modern dan
atau komprehensif).
B. Karakteristik Pondok Pesantren Salaf
Pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki karakteristik atau ciri
khas, yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Sarijo dalam
Sejarah Pesantren, (t.t. : 9) mengatakan bahwa, pesantren memiliki
unsur-unsur minimal:
1) kiai yang mendidik dan mengajar;
2) santri yang belajar; dan
3) masjid.
Mujamil
Qomar, (t.t.:19) menganalisa bahwa, tiga unsur pesantren ini mewarnai
pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren kecil yang
belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Lebih lanjut Mujammil
mengatakan, unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut
mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana.
Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab
tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya
santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan
tempat tinggal. Berkenaan dengan hal tersebut, Zamakhsyari Dhofier,
(1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat
atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, santri dan kiai.
1. Masjid
Di dunia pesantren masjid
dijadikan ajang atau sentral kegiatan pendidikan Islam baik dalam
pengertian modern maupun tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh
masjidlah yang menjadi pesantren pertama, tempat berlangsungnya proses
belajar-mengajar adalah masjid. Dapat juga dikatakan masjid identik
dengan pesantren. Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren
biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya
(Zamakhsyari Dhofier, 1985:49)
Masjid memiliki fungsi ganda, selain
tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang
masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan). Posisi masjid di
kalangan pesantren memiliki makna sendiri (Mujamil Qomar, t.t.:21)
Menurut Abdurrahman Wahid dalam Majalah Santri (1997:51) mengatakan
bahwa, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar
lepas dari hawa nafsu, berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah
mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada gunungan. Singkatnya,
masjid di dunia pesantren difungsikan untuk beribadah dan tempat
mendidik para santri. Juga, sebagai ciri khas lembaga pendidikan
pesantren.
2. Pondok
Fenomena pondok pada pesantren merupakan
sebagian dari gambaran ksederhanaan yang menjadi ciri khas dari
kesederhaan santri di pesantren. Seperti ungkapan Imam Bawani,
(1993:95), pondok-pondok dan asrama santri tersebut adakalanya berjejer
laksana deretan kios di sebuah pasar. Di sinilah kesan
kekurangteraturan, kesemerawutan dan lain-lain. Tetapi fasilitas yang
amat sederhana ini tidak mengurangi semangat santri dalam mempelajari
kitab-kitab klasik.
Pondok bukanlah ‘asrama’ atau ‘internaat’. Jika
asrama telah disiapkan bangunannya sebelum calon penghuninya datang.
Sedang pondok justtru didirikan atas dasar gotong -royong yang telah
belajar di pesantren. Dari uraian Zuhri tadi, dapat dikatakan, bahwa
asrama dibangun dari kalangan berada dengan persiapan dan persediaan
dana yang relatif memadai, sedang pondok dibangun dari kalangan rakyat
biasa yang dibangun didasarkan pada desakan kebutuhan.
Tatanan
bangunan pondok pesantren menggambarkan bagaimana kiai atau wasilun
(orang yang sudah mencapai pengetahuan tentang ketuhanan) berada di
depan santri-santri yang masih salik (menapak jalan) mencari ilmu yang
sempurna (Abdurrahman Wahid, t.t.:51), kalau dalam istilah Ki Hajar
Dewantoro, bahwa komposisi bangunan pondok pesantren melambangsan posisi
kiai sebagai ing ngarso sung tulodo atau dalam bahasa al-Quran dikenal
dengan istilah uswatun hasanah.
3. Pengajaran kitab-kitab klasik
Kitab-kitab
klasik biasanya dikenal dengan istilah kitab kuning yang terpengaruh
oleh warna kertas. Kitab-kitab itu ditulis oleh ulama zaman dulu yang
berisikan tentang ilmu keislaman seperti: Fiqh, hadits, tafsir maupun
tentang akhlak. Ada dua esensinya seorang santri belajar kitab-kitab
tersebut, di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga
mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu
seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung
memiliki pengetahuan bahasa Arab. Hal ini menjadi ciri seorang santri
yang telah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, yakni mampu
memahami isi kitab dan sekaligus juga mampu menerapkan bahasa kita
tersebut menjadi bahasanya (M. Bahri Ghazali, 2001:24)
Penggalian
khazanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah satu satu unsur
yang terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya
dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai
pusat transmisi dan desiminasi imu-ilmu keislaman, terutama yang
bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning”
telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar
mengajar di pesantren (Faisal Ismail, 1997:116-117)
4. Santri
Istilah
santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya
peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang
kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri pada
dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren (M. Bahri
Gahzali, 2001:22-23)
Menurut Zamakhsyari Dhofier, (1985:51-52) di dalam proses belajar mengajar di pesantren santri terbagi atas dua tipe, yaitu:
a) Santri Mukim
Santri
mukim yaitu santri yang menetap, tinggal bersama kiai dan secara aktif
menuntut ilmu dari seorang kiai. Dapat juga sebagai pengurus pesantren
yang ikut bertanggung jawab atas keberadaan santri lain. Menurut
Nurcholis Madjid, (1997:52) santri mukim ialah santri yang berasal dari
daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
Menurut Zamakhsyari, (1985:51) ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu:
Motif menuntut ilmu; artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiainya.
Motif menjunjung tinggi akhlak; artinya seorang santri belajar secara
tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki
akhlak terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.
b) Santri kalong
Santri
kalong pada dasarnya adalah seorang murid yang berasal dari desa
sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya tidak dengan jalan menetap
di dalam pesantren, melainkan semata-mata belajar dan secara langsung
pulang ke rumah setelah belajar di pesantren (Zamakhsyari, 1985:52)
Sejalan dengan Zamakhsyari, Nurcholis Madjid, 1997:52) mengatakan bahwa
santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka
pulah ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di
pesantren.
Sebuah pesantren yang besar didukung oleh semakin
banyaknya santri yang mukim dalam pesantren di samping terdapat pula
santri kalong yang tidak banyak jumlahnya (M. Bahri Ghazali, 2001:23).
5. Kiai
Kiai
di samping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manjerial
pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan dari
kecenderungan kiai. Kiai memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung
daerah tempat tinggalnya (Mujamil Qomar, t.t.:20) Ali Maschan Moesa,
(1999:60) mencatat: di Jawa disebut Kiai, di Sunda disebut Ajengan, di
Aceh disebut Teungku, di Sumatera/Tapanuli disebut Syaikh, di
Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.
Chozin
Nasuha dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saefudin Zuhri, (1999:264) Kiai
disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan
kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren,
bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam konteks
kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari berbagai perspektif
lainnya. Muhammad Tholchah Hasan, (1997:20) melihat kiai dari empat sisi
yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasi.
Jadi ada beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai
dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri (Mujamil
Qomar, t.t:20)
C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Salaf
1. Sorogan
Sistem
dan pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri
yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca
di hadapan kiai itu. Dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung
dibetulkan oleh kiai itu. Di pesantren besar sorogan dilakukan oleh dua
atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kiai atau
santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim
(Djaelani, 1980:54).
Metode sorogan merupakan sistem metode yang
ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara
individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di
langgar, masjid atau terkadang malah di rumah-rumah. Di pesantren,
sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu
mereka yang baru menguasai pembacaan al-Quran. Melalui sorogan,
perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia
dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas
dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas
mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan
keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Di samping
aplikasi metode ini membutuhkan waktu lama, yang berarti kurang efektif
dan efesien (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
2. Wetonan atau Bandongan
Metode
wetonan atau bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan
pesantren. Metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran
dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku –
buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri
mendengarkan.mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat
catatan–catatan (baik arti maupun keterangan ) tentang kata–kata atau
buah pikiran yang sulit (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
Penerapan
metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas
dalam proses belajar mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara
santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata
lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna
mencermati suatu pendapat. Wetonan dalam prakteknya selalu berorentasi
pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam
metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai
sendiri mungkin tidak mengetahui santri–santri yang tidak mengikuti
pelajaran terutama jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada
peluang bagi sanrti untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri
yang mengikuti pelajaran melalui wetonan ini adalah mereka yang berada
pada tingkat menengah (Menurut Mujamil Qomar, t.t.:143).
Metode
sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat
pada pemahaman tekstual atau literal (Husein Muhammad, 1999:281) Akan
tetapi, bukan berarti metode sorogani dan bandongan tidak memiliki
kelebihan sama sekali. Ada hal-hal tertentu yang dirasakan sebagai
kelebihannya.
Ismail SM, (2002:54) merasakan bahwa metode sorogan
secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi
yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan
kiai/ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal
kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan efektivitas metode
bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan percepatan kajian
kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi santri-kiai/ustadz.
Kedua
metode tersebut sebenarnya merupakan konsekuesi logis dari layanan yang
sebesar-besarnya kepada santri. Berbagai usaha pembaharuan dewasa ini
dilakukan justru mengarah pada layanan secara individual kepada peserta
didik. Metode sorogan justeru mengutamakan kematangan dan perhatian
serta kecakapan seseorang. Adapun dalam bandongan, para santri
memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih
lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat
santri di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari
lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai.
Dalam
dunia pesantren, santri yang cerdas dan memiliki kelebihan, dan mendapat
perhatian istimewa dan didorong secara pribadi oleh kiai secukupnya.
Semua santri mendapat perhatian yang seksama dari kiai. Tingkah laku
moralnya secara teliti diperhatikan. Santri diperlakukan sebagai makhluk
terhormat, sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada santri
ditanamkan perasaan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan
pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, mencurahkan waktu
dan tenaga untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup, dan mengamalkan
ilmu merupakan kewajiban dan ibadah. Kepandaian berpidato dan berdebat
dikembangkan untuk melatih daya kritis dan kreatif pada santri.
Untuk
lebih mengembangkan pengetahuan para santri dan sebagai evaluasi
keberhasilan santri, maka santri yang dianggap sudah senior atau
memiliki pengetahuan yang memadai diangkat oleh kiai sebagai badal
(pengganti) jika kiainya berhalangan.
Di beberapa pesantren santri
yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus
merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Santri ini memiliki
kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santari-santri memberikan penghormatan
yang berlebihan kepada kiainya”. Perbuatan seperti ini di dunia
pesantren merupakan konsekuensi cerminan santri yang memiliki
pengetahuan tinggi, dia harus memiliki etika dan akhlak yang lebih baik
dari pada santri-santri yunior, karena mereka merupakan suri tauladan
setelah kiai.
D. Penutup
Sebagai rangkaian akhir dari
pembahasan makalah ini, penulis akan menyampaikan sebuah keyakinan
kepada pembaca, bahwa pesantren telah membuktikan dirinya sebagai
lembaga pendidikan yang telah banyak mencetak kader bangsa yang berilmu
dan berakhlak mulia. Namun, saat ini ada sebuah gejala di masyarakat
luas, yaitu gejala menjauhi pendidikan yang berbasis agama, semuanya
berkiblat ke Barat. Hal ini disebabkan oleh faham materialistik yang ada
di masyarakat. Oleh karena itu, pesantren mulai ditinggalkan, dan yang
kejar adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya cepat
mendapatkan uang. Akibatnya, banyak sekarang orang pintar tapi miskin
moral. Sudah saatnya masyarakat untuk kembali kepada moral dengan
mempercayakan pendidikannya kepada dunia pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Bawani, Imam. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional. Surabaya: Al-Ikhlas.
Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,Jakarta: LP3ES.
Fathurrahman,
Pupuh, 2000, Keunggulan Pendidikan Pesantren; Alternatif Sistem
Pendidikan Terpadu Abads XXI, Bandung: Tunas Nusantra.
Ghazali, Bahri, M., Dr., MA., 2001, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Pedoman Ilmu.
Hasan, Muhammad Tolhah. 1996. “Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional”, Santri, No. 03, Agustus.
Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan bdan Perkembangan. Jakarta: LISK.
Moesa, Ali Maschan. 1999. Kiai dan Politik dalam wacana Civil Society. Surabaya: LEPKISS.
Qomar,
Mujamil, Prof., Dr., M.Ag., t.t., Pesantren dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.
http://abahfachri.blogspot.com/2010/05/sistem-pembelajaran-pondok-pesantren.html
Santri sedang Mengaji Kitab Kuning
Berdoa Selesai Pengajian
Pelaksanaan Shorogan
Melogat Kitab Kuning
Santri yang tertidur kelelahan Pengajian di Majlis
Masak di Tungku (Dapur Santri)
Makan Bersama dalam satu wadah ( Balastrang )